Serunya Belajar Destilasi Air Laut hingga Energi Terbarukan di PPLH Puntondo Takalar

Tak banyak tempat wisata yang hanya memanjakan pengunjung dengan kenyamanan dan keindahan pemandangan, tetapi juga memberi edukasi lingkungan. Salah satu yang cukup menonjol di Sulawesi Selatan adalah Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Puntondo.

Terletak di Dusun Puntondo, Desa Laikang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, berjarak sekitar 48 Km dari Kota Makassar. Bisa ditempuh dalam waktu 2 jam. Untuk mencapai lokasi ini biasanya pengunjung menggunakan kendaraan pribadi ataupun rental, karena lokasinya yang jauh dari jalur utama.

Pantai Puntondo sendiri merupakan salah satu pantai pasir putih alami dan dikenal sebagai salah satu sentra pembibitan rumput laut di Sulsel. Konon nama Puntondo  berasal dari bahasa Makassar yaitu Kondo yang berarti burung Bangau.

Kawasan PPLH Puntondo Takalar memiliki kawasan Mangrove dengan belasan jenis Mangrove di dalamnya. Di tempat ini juga banyak ditemukan jenis burung, baik burung lokal maupun burung yang sekedar singgah di musim-musim tertentu. Foto: Mongabay Indonesia/Wahyu Chandra.

Di area seluas 5 hektar ini didesain sebuah taman mini dengan beragam tanaman di dalamnya, termasuk hutan Mangrove dengan sejumlah jenis Mangrove di dalamnya.

Ketika berkunjung ke tempat ini, Sabtu (8/2/2020) lalu, oleh Eli, salah seorang pengelola tempat ini, membawa saya berkeliling ke seluruh bagian lokasi dan fasilitas-fasilitas yang ada di dalamnya.

Terdapat 6 bungalo ukuran kecil yang bisa dihuni 4-6 orang, dan dua buah bungalo besar berkapasitas 16 orang. Bungalo ini sendiri bentuknya berupa rumah panggung terbuat dari kayu. Terdiri dari satu kamar utama, beranda depan, dan halaman belakang. Tersedia juga kamar mandi dengan konsep terbuka yang terletak di lantai dasar.

Selain dilarang membuang sampah sembarangan, pengunjung juga tidak boleh merokok.

Fasilitas lain adalah sebuah lapangan yang biasanya digunakan untuk Fun Game, dimana pengunjung yang datang berkelompok akan belajar tentang kepemimpinan dan kolaborasi.

Di sekitar lapangan ini terdapat destilasi air laut ukuran mini, yang dalam sehari bisa menghasilkan hingga 5 liter air dalam kondisi sinar matahari terik.

“Airnya bisa diminum langsung, silahkan dicoba kalau mau,” ujar Eli.

Menurutnya, keberadaan destilasi air ini lebih pada fungsi pembelajaran. Di sekitar destilasi ini terdapat bak pembuangan limbah makanan yang berasal dari restoran di sampingnya. Dari bak ini dihasilkan pupuk organik, yang kemudian digunakan sebagai pupuk tanaman. Di sekitar bak ini terdapat tanaman eceng gondok yang bertujuan menyaring limbah dari bak.

“Hasil akhirnya nanti akan keluar air bersih yang akan dialirkan ke empang,” jelas Eli.

Tempat lain yang kami kunjungi adalah hutan Mangrove yang berbatasan langsung dengan pantai. Di sekitar pantai, dipasang jaring plastik sepanjang beberapa puluh meter. Jaring ini ternyata digunakan sebagai penyaring sampah plastik  dari laut lepas.

“Ini setiap minggu dibersihkan, ada banyak sampah, mulai plastik, popok bayi, sisa kayu dan lain-lain. Plastik yang bagus kita daur ulang menjadi ecobrick dan kerajinan tangan lainnya,” jelas Eli.

Hutan mangrovenya sendiri terdiri memiliki beberapa jenis Mangrove, yang didominasi oleh Lumnitzera racemosa dan Rhizophora mucronata.

Jenis Mangrove lainnya adalah Sesuvium portulacastrum, Aegiceras floridum, Ipomoea pes-caprae, Hibiscus filiaccus, Hiriteira litoralis, Pandanus tectorius perkinson, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, Ceriops decandra, Lumnitzera racemosa, Xylocarpus rumphii, Avicennia marina, dan Avicennia alba.

Tempat lain yang ditunjukkan Eli adalah fasilitas energi terbarukan. Ada dua energi terbarukan yang digunakan, meski dalam skala kecil, yaitu solar panel dan tenaga bayu atau angin.

Untuk energi bayu menggunakan tiga baling-baling dalam ukuran kecil, setinggi 4 meter. Ada tiga kincir, dua kincir dengan kapasitas 400 watt, sementara 1 kincir yang lebih kecil kapasitas 80 watt. Di bawahnya terdapat trafo sebagai tempat penyimpanan listrik. Sementara untuk solar panel berkapasitas 800 watt.

“Ini ukurannya kecil saja karena memang tujuannya pembelajaran. Kami biasa gunakan sebagai energi cadangan ketika terjadi pemadaman listrik, khusus untuk restoran saja.”

Restoran tempat ini terbilang unik. Sebuah bangunan kayu yang sekilas terlihat biasa-biasa saja. Eli menjelaskan bahwa bangunan itu sebenarnya memiliki 13 lantai di dalamnya. Mendengar penjelasan Eli tentu saja terasa tidak masuk akal karena tinggi bangunan paling tinggi 10 meter.

Untuk membuktikannya saya mencoba menghitung tinggi lantai tersebut dan memang terdapat 13 lantai dengan jarak antara lantai sekitar 30 cm.

Restoran ini menyajikan beragam sajian makanan lokal yang sehat karena menggunakan sayuran organik dan tanpa MSG. Pengunjung bisa memesan lobster, kepiting, cumi-cumi dan jenis makanan laut lainnya. Terdapat juga sajian penganan hasil olahan berupa stik rumput laut.

Fasilitas lainnya adalah Galeri Pesisir, dimana pengunjung bisa belajar membuat lukisan berbahan dasar pasir, membuat kerajinan tangan dari bahan dasar plastik, bambu dan kayu serta membuat ecobrick. Fasilitas terakhir yang saya kunjungi adalah perpustakaan yang berisi ribuan buku yang sebagian besar terkait ekosistem pesisir.

Wajib, manajer PPLH Puntondo, mengatakan beragam fasilitas yang telah ia tunjukkan tersebut adalah bagian dari fasilitas wisata, yang tidak hanya untuk menikmati suasana dan pemandangan saja, tetapi mengandung unsur edukasi lingkungan di dalamnya.

“Fasilitas ini biasanya ditujukan untuk pengunjung yang datang secara kelompok. Baik itu dari sekolah-sekolah ataupun komunitas,” jelas Wajib.

Beberapa program pendidikan lingkungan yang ditawarkan lembaga yang didirikan pada 15 Oktober 2001 ini antara lain ekosistem laut, teknologi tepat lingkungan, pengelolaan sampah, sosiologi desa nelayan, outbond, field trip edutainment, dan family day.

Program tersebut ditawarkan secara paket dengan harga yang bervariasi. Program ini cocok untuk siswa sekolah dan keluarga. Di pantai ini terdapat penginapan, asrama, restoran, perpustakaan, dan ruang pertemuan yang dihubungkan dengan jembatan yang terbuat dari kayu. Hampir semua kamar mandii tak beratap sehingga berasa seperti mandi di sumur umum.

Untuk tarif masuk ke lokasi pengunjung biasa dipatok harga tiket Rp15 ribu termasuk mendapat sajian kopi atau teh hangat serta satu porsi keripik rumput laut.

PPLH Puntondo memiliki fasilitas energi terbarukan berupa solar panel dan energi bayu (kincir angin) dengan total kapasitas 1.680 watt. Fasilitas ini juga tujuannya untuk edukasi dan digunakan sebagai energi cadangan untuk restoran. Foto: Mongabay Indonesia/Wahyu Chandra.

Sementara untuk bungalo pihak PPLH memasang tarif Rp450 per bungalo yang bisa muat 4-6 orang. Asrama untuk rombongan dengan tarif Rp75 ribu per orang.

Selain fasilitas tersebut, ada juga paket snorkeling dengan tarif Rp 500 ribu per 10 orang. Harga tersebut sudah termasuk sewa perahu, pelampung dan masker snorkling.

Kaya dengan biota laut

Kawasan laut Puntondo sendiri memiliki kekayaan biota laut  dan pesisir yang masih terjaga dengan baik. Pada tahun 2009, sebuah lembaga berhasil mengidentifikasi biota-biota tersebut dan menemukan adanya 34 jenis ikan karang, 14 jenis Mangrove, serta  6 jenis lamun. Dari penelitian ini juga didapatkan bahwa kondisi terumbu karang tergolong sedang dengan jumlah karang hidup 36 persen.

Beberapa jenis ikan karang yang ditemukan antara lain ikan badut, ikan lepu, ikan barakuda, ikan Baronang, Botana, Kepe Strip Delapan, Kepe Coklat, Kepe Monyong Zebra, Kambingan, Platak Asli, Brown Kelly, Brajanata, Keling Kalong, Kenari Biasa, Kerapu Layar, Dokter Ular Bibir Merah, Dokter Neon, Zebra Ekor Hitam, Bluester Biasa dan Betok Hijau.

Tidak hanya biota laut, di sekitar kawasan tersebut juga dihuni beragam jenis burung, antara lain Cucak Kutilang, Madu Siganti, Cekakak Sungai, Cekakak Suci, Cabak Kota, Itik Benjut dan puluhan jenis lainnya.*

Sumber: www.mongabay.co.id